Dengan latar belakang pasir putih yang lembut, ombak tinggi menggulung, dan karang yang membentengi lanskap pantai Pangumbahan adalah istana nan indah bagi reptil penyu hijau. Di pesisir selatan Ujung Genteng, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat ini, pengunjung tak hanya melihat dari gambar atau mendengar ceritanya saja, tetapi juga turut mempraktikkan langsung upaya pelestarian sang pengelana luas samudera.
Sedini hari itu, Beben (38) berlari tergopoh-gopoh menghampiri jejak seretan Penyu yang pulang bertelur. Dengan suara terengah yang samar dengan angin, Ia menjelaskan tak mudah untuk menyaksikan penyu bertelur seiring menurunnya populasi.
“Berbeda sewaktu saya kecil, paling di bulan yang pasti saja, yakni November dan Desember sehari cuma satu yang pulang, dulu bisa berpuluh-puluh,” kata Petugas Konservasi Pangumbahan ini.
Dalam kesunyian dan deru ombak, hewan bernama latin Chelonia mydas ini perlahan mengeluarkan satu persatu telurnya hingga ratusan jumlahnya. Insting Chelonia sangat baik dalam menentukan posisi yang aman bertelur, setelah sebelumnya menggali lubang dengan kepak sayapnya. Tentu saja, ada kaidah-kaidah yang mesti dituruti para pengunjung. Misalnya, “jika ingin menyaksikan penyu bertelur tidak boleh berisik dan bebas sinyal handphone, harus sunyi, dan tidak boleh menyalakan lampu,” ujar Kepala Monitoring Penyu Hijau Tinton Apriadi.
Tangan Beben dan pak Tinton pun cekatan menggangsir pasir membantu hewan ini mengubur rapat telur-telurnya agar tidak menjadi santapan pemangsa seperti biawak, ular, unggas dan anjing liar. Mereka pun memberi tagging dengan kode ilmiah untuk kemudian harinya memindahkan telur ke rumah penetasan, Pangumbahan.
Pangumbahan ditetapkan sebagai kawasan konservasi berdasarkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 5/KEPMEN-KP/2016 tanggal 5 Februari 2016. Pengunjung yang datang akan melihat petak-petak penetasan. Ada beberapa yang sengaja dikosongkan dan petak lain menyimpan ribuan telur. Di permukaan pasir, berdiri papan identitas telur, jenis penyu, jumlah telur dan tanggal pemendaman. Semua berderet rapi pada papan identitas bersama terteranya nama si pemendam.
Tidak hanya melihat dan mendengarkan saja, upaya pelestarian hewan penyendiri ini bisa dipraktikkan langsung. Pengunjung bisa membantu berdonasi, turut menggali dan memendam telur penyu yang dikumpulkan para pengelola Pangumbahan. Lebih dari itu, pengujung juga bisa memberinya nama anak-anak penyu atau biasa disebut tukik untuk dilepas liarkan kemudian hari.
Setiap sore, tukik-tukik yang sudah dikarantina dalam penangkaran akan dilepas liarkan untuk meramaikan semesta.
waktu pelepaasan tukik antara pukul 17.00-17.30 WIB. Pengunjung juga diperbolehkan membantu pihak konservasi untuk melepaskan tukik-tukik.“Jangan sentuh kerapasnya, cangkangnya masih lunak, sentuhan tangan menyebabkan anak tukik stress dan mengganggu memori otak tukik mengenal tempat lahir,” tambah Beben yang telah mengabdikan 20 tahun hidupnya untuk hewan ini.
Ada detik detik dimana melepaskan tukik-tukik seperti membangkitkan kembali memori tentang perjalanan hidup. lahir menjadi bebas dan besar akan petualangan. Fragmen yang melintas penjelajahan bisa saja terputus takdir dan fenomena alam, atau Pangumbahan tetap tak dilupakan sebagai rumah terakhir untuk pulang.